Monday, August 13, 2018

Uci

Asma Faridah Natsir, itu namanya. Kalau teman-teman googling nama itu, pasti yang keluar adalah potret Atu-ku, Atu M. Natsir. Garis wajah Padangku diwarisi dari beliau, semoga semangat untuk menebar kebermanfaatan bagi umat juga terwarisi.

Uci, begitu aku memanggil nenekku yang luar biasa ini. Kenapa aku bilang luar biasa? Saat usia anak-anaknya masih sangat muda, bahkan tanteku yang paling bungsu masih sekolah, suaminya, Mbahku, meninggal dunia. Bagaimana rasanya seorang ibu rumah tangga harus menghidupi keempat anaknya? Dan tahukah teman-teman, anak-anak beliau, Mamaku, Tanteku, Omku, tumbuh menjadi insan yang benar-benar bisa menjadi contoh dan panutanku, semua itu berkat didikan dari Mbah dan khsusunya Uci yang mendampingi sampai dewasa.

Saat muda dulu, Uci suka sekali olahraga. Lari dan basket adalah olahraga favoritnya, pokoknya Uci aktif sekali. Tidak heran, sejak aku kecil, Uci senang sekali membawaku dan adikku jalan-jalan, entah itu hanya untuk silaturrahim ke Dewan Da'wah, menghadiri pernikahan dan hajatan lainnya, bahkan hanya untuk belanja daging, karena Uci chef rendang favorit semua orang di keluargaku. Saat Uci masih sehat dulu, sangat jarang aku lihat Uci seharian hanya di rumah, itu juga pasti ada kegiatan yang beliau lakukan. Oh ya, Uci juga senang sekali menjahit. Seprei, baju, dressku saat kecil rata-rata made in Uci. Kalau dulu aku mengerti banyaknya kasih sayang yang beliau curahkan di setiap jahitan bajuku, pasti akan kupakai setiap hari dan kupamerkan ke teman-temanku.

Sampai tiba saatnya kesabaran Uci diuji lagi oleh Allah. Parkinson, penyakit syaraf ini yang menghambat aktivitas Uci. Uciku yang aktif tidak bisa lagi beraktivitas seperti biasa. Selama 8 tahun terakhir, Uci harus ikhlas bolak-balik kontrol ke dokter spesialis syarafnya, rela minum obat secara berkala, rela dibimbing langkahnya agar tidak jatuh.. Ah, Uci, kalau Fira jadi Uci, Fira mungkin tidak bisa se-ikhlas itu untuk melepas kegiatan yang selama ini dilakukan. Dulu Uci memang masih ingin kemana-mana sendiri, ke kamar mandi sendiri, ke dapur sendiri, tapi lama kelamaan fungsi syaraf gerak Uci sudah tidak bisa seperti dulu lagi, tidak jarang Uci harus terdiam beberapa detik untuk melangkah, karena Uci harus berusaha keras mengirim sinyal ke syaraf kaki Uci untuk melangkahkan kaki.

Satu hal yang tidak pernah Fira dengar dari Uci, Uci tidak pernah mengeluh. Uci hanya bersikeras Uci bisa melakukan aktivitasnya sendiri, tapi tidak pernah mengeluh. Gimana, sih, Ci, resep untuk mengikhlaskan takdir Allah? Rasanya kalau Fira sedang capek banyak kegiatan aja, Fira langsung ngeluh..

Hari Senin, 6 Agustus 2018, Talina, tanteku yang tinggal bersama Uci, kaget ketika Uci sesak nafas di kamarnya, dan langsung dibawa ke ICU. Ternyata ada infeksi paru-paru yang diderita Uciku baru-baru ini. Uci pun akhirnya dirawat secara intensif di rumah sakit, sempat beliau menanyakan ke mama dan tanteku, "Anak-anak kalian mana? Kok nggak jenguk Uci?" saat itu aku masih di Yogya, dan ketika aku mendapat kabar itu dari WhatsApp, air mataku turun. Ya Allah, Uci mencariku..

Keesokan harinya, aku menjenguk Uci, tapi hari sudah malam. Uci tidur dengan tenang sekali, padahal malam sebelumnya Uci masih sesak nafas. Keesokan harinya lagi, tanggal 8 Agustus 2018, aku menjenguk Uci agak sore, karena ingin menyalami dan mengajak ngobrol Uci sebelum beliau tidur seperti malam sebelumnya. Saat aku menyalami Uci, tangannya dingin sekali, dan tidak merespon sapaanku. Matanya menerawang, tapi tetap tersenyum. Aku dan tanteku pikir beliau kedinginan atau lelah karena hari ini sudah sesak nafas beberapa kali, dan banyak sekali tamu yang menjenguk dan mendoakan. Akhirnya Uci diberi kaos kaki dan tangannya diolesi minyak kayu putih.

Ternyata, dinginnya tangan dan kaki Uci menandakan Uci telah kekurangan oksigen. Ya Allah..
Pukul 22.30, Uci meninggalkan kita semua. Masih tergambar dengan jelas aku dan mama masih menyuapi Uci obat, bersama-sama mendengarkan murottal agar Uci tidurnya nyenyak, kemudian Uci mulai sesak nafas sekitar pukul 21.00, kemudian suster dan dokter memberi bantuan pernafasan untuk Uci, tapi tidak dapat tertolong lagi. Pecah tangis kami semua yang ada disana. Uciku yang baik, yang lembut, yang cantik, sudah tidak bersama kami lagi.

Uci, Uci bisa baca tulisan Fira nggak disana? Fira mau bilang kalau Fira sayang sekali sama Uci, Fira belum sempat minta maaf ke Uci, Uci belum melihat Fira menjadi contoh yang baik untuk adik-adik, Fira minta maaf, Ci..
Uci sudah nggak sakit lagi ya, Ci? Uci sudah ketemu Mbah sama Atu disana.
Mbah, tolong jaga Uciku, ya. Uci nggak boleh jatuh lagi, Uci nggak boleh sedih disana, ya, Mbah.

Kita semua sayang Uci..

Saturday, February 03, 2018

Tribute to Padoti

Hai, namaku Padoti. Aku seekor kucing biasa berbulu hitam dan bermata kuning kehijauan. Sejak kecil, aku diadopsi oleh seseorang yang tinggal bersama 4 temannya di sebuah rumah yang ramai, mereka adalah Rizal, Kukuh, Ridho, Aan, dan Monang. Mereka sahabatku. Mereka kakakku. Mereka yang mengurusku dari kecil. Hobi? Hmm, hobiku adalah mendengar curhatan Rizal setiap dia pulang dari kampus, tidur di bawah kaki Kukuh, dan berusaha turun dari atas lemari karena Ridho selalu membawaku kesana.

Oh ya, aku tidak sendiri disini. Aku bersama Padito, partnerku sejak kecil, yang selalu menghabiskan jatah makanku. Mereka bilang aku cocok dengan Padito, tapi... Huh, dari kecil, Padito itu kucing yang sombong, mentang-mentang bulunya lebih bagus dariku. Setiap aku dan Padito tidak sengaja saling berpelukan saat tidur untuk menghangatkan diri, orang rumah, termasuk Fira, selalu mengabadikan momen itu. Tapi, aku tetap sayang Padito layaknya saudaraku sendiri.

Aku menyukai manusia, walaupun kadang mereka jahil, tetapi mereka selalu menyayangiku. Waktu itu, saat seisi rumah pulang kampung untuk beberapa minggu, mereka membeli 3 kilogram makanan untukku, Padito, dan Padedi, kucing yang diadopsi oleh Ridho. Betapa bahagianya kami, terutama Padito. Kerjanya makaan terus. Kemudian saat sahabatku pindah rumah, mereka tidak tega untuk membawaku dengan mobil pick-up, apalagi saat itu aku baru saja melahirkan dua anak, salah satunya bernama Kaos Kaki. Akhirnya, kami ditaruh di sebuah kandang besar dan Fira membawaku ke rumah baru dengan taksi online. Bapak taksi sempat kaget saat tau bahwa penumpangnya adalah kucing-kuing rumah, tapi Fira menenangkan dan menjelaskan bahwa kami tidak akan mengotori mobilnya. Aku sangat menikmati perjalanan hari itu, tapi tidak dengan Padito. Wajahnya was-was, dan saat sampai rumah baru, lidahnya selalu menjulur keluar, mengisyaratkan bahwa dia tidak tenang. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya.

Hari itu, Kaos Kaki pulang dengan lemas, aku tidak mengerti kenapa. Aku dekatkan diriku, tapi Kaos Kaki tidak menggubris. Lambat laun, Kaos Kaki menjadi semakin lemah. Tidak mau makan, tidurpun selalu menjauh dengan kami, sampai akhirnya aku harus menahan duka karena aku melihat anakku mati. Sejak saat itu, akupun jadi tidak mau makan, tidak enak untuk tidur, tidak bisa bermain dengan sahabatku. Saat Rizal membawaku ke dokter, aku baru mengetahui bahwa aku terkena virus yang tertular dari Kaos Kaki, anakku. Virus yang menyerang tubuhku sudah di stadium akhir, dan harapan hidupku hanya dua puluh persen, sangat tipis. Sepanjang perjalanan pulang, aku tidak mau melihat mata Rizal, aku belum siap untuk meninggalkan dia dan sahabatku yang lain.

Tapi tidak bisa dipungkiri lagi, virus itu dengan cepat menyerang semua tubuhku. Mulutku sangat sakit saat aku makan, mataku sangat sakit saat aku tutup untuk tidur, bahkan saat aku ingin buang airpun rasanya sakit sekali. Pelan-pelan, Rizal membawaku ke kandang kecil. Dia tahu, bahwa umurku tidak akan lama lagi. Dia tahu, bahwa aku akan pergi sebelum aku mati hanya karena aku tidak ingin melihat sahabatku menghadapi kematian.

Kini, aku tidak lagi menyapa kalian saat kalian sampai rumah. Aku tidak lagi menunggu kalian pulang. Aku tidak lagi mengganggu kalian saat kalian makan. Aku tidak lagi di samping kalian. Terima kasih, sahabat. Saatnya aku pergi, semoga Allah membalas kebaikan kalian.



Dear Padoti,
Terima kasih, sudah hadir di hidup Fira beberapa tahun belakangan. Ini kali pertama Fira benar-benar menyayangi peliharaan, walaupun awalnya memang bukan milik Fira. Fira merasa kamu bisa mendengar Fira, bisa memahami curhatan Fira setiap Fira berkunjung kesana.
Padoti, kemarin Fira menjenguk kamu, lho. Fira tidak tahu kamu sudah tidak ada. Kamu hanya diam di kandang kecil, Fira usap tanganmu dari luar. Keesokan harinya, Fira datang lagi. Fira kaget saat kamu masih dalam posisi yang sama seperti kemarin. Dari situ Fira tahu, Padoti sudah tidak ada.
Terima kasih, Padoti..

Saturday, January 27, 2018

Tough, but Tough

It's been a tough days for us, right, sir?

Berawal dari bulan pertama di tahun ini, ada banyak sekali agenda yang menanti kita. Aku bertolak ke kota kembang, kamu menunggu. Aku pulang, kamu mempersiapkan diri untuk kompetisimu, lalu berangkat ke negeri gajah putih, aku menunggu. Kamu pulang, aku sibuk dengan agenda laboratorium. Ini bukan yang pertama untuk kita masuk ke agenda sama-sama-sibuk-tapi-sibuknya-beda. Menurutku, ini hal yang asyik yang bisa aku bagi. Masing-masing punya cerita yang beda, keluhan yang beda, berita baik yang beda. Tetap berbagi keluh kesah denganku, ya.

Setelah ini aku harap kita bisa sama-sama istirahat, menikmati semester ganjil terakhir di kota ini.

Oh.
And please,
Stay busy with me ya?
Stay tough with me ya?